Tulungagung, Klik DAERAH – Pemerintah Kabupaten Tulungagung mencabut Nomor Induk Kependudukan (NIK) 2 orang pengungsi Rohingya yang telah menetapkan di Kabupaten sejak 20 tahun lalu. Selain itu, Pemkab juga mencabut status perkawinan dan anak hasil perkawinan tersebut. Hal itu diungkapkan oleh Pj. Bupati Tulungagung saat diminta keterangan oleh awak media beberapa waktu lalu, Senin (15/1/2024).
Menurut Pj. Bupati Heru, pihaknya langsung melakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk menyelidiki adanya pengungsi Rohingya di Kabupaten Tulungagung.
“Pemkab Tulungagung telah mencabut NIK 2 warga Rohingya tersebut, tetapi untuk istri dan anaknya tetap menjadi warga negara Indonesia,” jelas Heru.
2 warga Rohingya yang telah menetap di Tulungagung ini sudah menikah dengan warga lokal Tulungagung.
Dari pernikahan itu mereka mempunyai anak. Kedua warga Rohingya tersebut sempat mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga) WNI.
Dengan pencabutan status kewarganegaraannya tersebut, maka status anak hasil perkawinan mereka juga berubah.
Anak yang lahir dalam KK merupakan anak dari ibu, tanpa mencantumkan nama ayah. Sebab, pernikahan warga Rohingya dengan warga lokal tersebut dianggap tidak sah dalam hukum formal, namun sah dalam hukum agama.
“Misal nama anaknya Umi, maka yang muncul dalam dokumen kependudukan Umi binti nama ibunya,” terang Heru.
Ditanya terkait beberapa kali Kabupaten Tulungagung kebobolan masuknya warga asing dan mempunyai identitas Kabupaten Tulungagung, Heru katakan ujung tombak administrasi kependudukan ada di desa.
Untuk mencegah terulangnya perkara ini, dirinya meminta pemerintah desa lebih cermat lagi dalam hal dokumen kependudukan.
“Kemungkinan ini masalah kemanusiaan, sehingga oleh pihak desa dimasukkan (dokumen kependudukan),” katanya.
Namun hal itu menjadi permasalahan saat ada pemeriksaan atau laporan dari warga.
Heru mengelak jika munculnya NIK untuk warga Rohingya disebabkan kelalaian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tulungagung.
Sebab, untuk memperoleh dokumen kependudukan harus disertai surat pengantar dari desa.
“Permasalahan dari bawah (desa),” tegasnya.
Meski demikian, Heru akui seharusnya petugas Dispendukcapil melakukan pemeriksaan hingga ke bawah sebelum mengeluarkan dokumen kependudukan.
“Persyaratan untuk mengeluarkan KTP harus dicek betul,” katanya.
2 warga Rohingya tersebut sudah puluhan tahun berada di Tulungagung. Heru memastikan keduanya masuk ke Indonesia bukan melalui jalur resmi.
Dari informasi yang diperoleh, keduanya kenal dengan warga Tulungagung yang sekarang menjadi istrinya saat menjadi TKA di Malaysia.
Saat warga Tulungagung tersebut pulang ke Tulungagung, keduanya ikut dan menetap di Tulungagung.
Kedua warga Rohingya tersebut tinggal di Kecamatan Bandung dan Kecamatan Ngunut. Keduanya kini dalam pengawasan organisasi PBB yang mengurusi pengungsi atau UNHCR.
Reporter : Joko Pramono
Editor : Edi Susanto